Senin, 03 Agustus 2009

Kebisingan Lalu Lintas


Oleh: Ngudi Tjahjono

Ada pelanggaran lalu lintas serius yang tidak pernah ditindak polisi. Pelanggaran tersebut adalah kebisingan yang ditimbulkan oleh kendaraan bermotor yang melebihi ambang batas. Padahal akibat yang ditimbulkannya bisa sangat merugikan bagi orang-orang yang beraktivitas di sekitar jalan raya. Di negara maju masalah ini mendapatkan perhatian yang serius.

Kebisingan dapat menyebabkan kerusakan pendengaran, baik yang sifatnya sementara atau permanen. Hal ini sangat dipengaruhi oleh intensitas dan lamanya pendengaran terpapar kebisingan. Intensitas bunyi adalah arus energi per satuan luas yang dinyatakan dalam satuan desibell (dB).

Pengaruh utama kebisingan kepada kesehatan adalah ketulian progresif. Mula-mula efek kebisingan pada pendengaran sifatnya sementara. Pemulihannya terjadi secara cepat sesudah sumber kebisingan dijauhkan atau dimatikan. Tetapi, apabila kita terus-menerus melakukan aktivitas di tempat bising, kehilangan daya dengar yang terjadi bisa menetap atau tidak pulih kembali. Kehilangan itu biasanya dimulai dari frekuensi tinggi, kemudian menghebat dan turun ke frekuensi yang digunakan untuk percakapan. (Imansyah S. dan Achmad, 2006).

Berdasarkan survei "Multi Center Study" di Asia Tenggara, Indonesia termasuk 4 negara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi yaitu 4,6%, sedangkan 3 negara lainnya yakni Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3%). Walaupun bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6% tergolong cukup tinggi, sehingga dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. (Depkes RI, 2004).

Mungkin kita masih bisa berdalih, "bukankah manusia adalah makhluk yang mempunyai tingkat adaptasi yang cukup tinggi?" Sehingga kondisi lingkungan yang merugikan kesehatan manusia selalu saja ditoleransi oleh kita sendiri. Pemerintah, aparat atau pemegang otoritas lainnya cenderung membiarkan saja. Nanti kalau sudah parah akibatnya, barulah kita ribut. Nah, kita tahu, selalu saja kita berbuat begitu. Kita menyukai keterlambatan, bukan pencegahan.

Perilaku sosial seperti sikap masa bodoh, berbicara dengan volume tinggi sebagai akibat rusaknya pendengaran oleh kebisingan berkepanjangan, kita anggap wajar. Terganggunya konsentrasi belajar bagi siswa yang sekolah di sekitar jalan raya yang bising, dianggap biasa-biasa saja oleh pemerintah daerah. Terganggunya konsentrasi bekerja karena kebisingan yang akan berakibat menurunnya tingkat produktivitas, juga dianggap angin lalu oleh para pemegang otoritas. Suara knalpot sepeda motor yang keras memekakkan telinga, dibiarkan saja oleh pak polisi.

Rupanya pemerintah dan para aparat senang melihat rakyat menderita. Naudzubillah. Jika tidak setuju dengan ungkapan ini, semoga ditunjukkan dengan tindakan nyata.